LUMAJANG – Institut Agama Islam Miftahul Ulum (IAIM) Lumajang menggelar seminar dan workshop menulis karya sastra dengan tema ‘Meningkatkan Keterampilan Menulis Sastra Secara Sistematis dan Berkelanjutan: Dari Teori Menuju Praktik’ di Aula kampus IAIM, Rabu 23 Oktober 2024.
Rektor IAIM Lumajang, Mochammad Hisan dalam sambutannya menyampaikan bahwa perubahan bentuk kampus dari STAIM menjadi IAIM merupakan awal untuk lebih bersemangat. Sebagaimana pesan pengasuh pesantren, agar perubahan bentuk tidak sekedar formalitas
“Kegiatam hari ini merupakan bentuk terjemahan dari pesan pengasuh untuk lebih bersemangat dalam berkegiatan yang positif. Inisiatif kegiatan ini sebenarnya sudah lama namun menunggu waktu yang tepat, setelah saya amati, kecendrungan penulisan mahasiswi lebih ke cerpen, novel, roman dan prosa,” katanya.
Namun, lanjut Hisan, belum ada yang menuntun sehingga karyanya bisa dinikmati khalayak umum. Padahal, karya sastra pesantren saat ini sedang hangat diperbincangkan, sehingga letupan dan kegelisahan mahasantri ini perlu diarahkan agar bisa menjadi karya sastra pesantren yang bisa dinikmati publik.
“Sudah banyak sastrawan pesantren yang melahirkan karya luar biasa seperti novel Hati Suhita karya Neng Khilma Anis, Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin M Dahlan dan masih banyak lagi lainnya. Harapan saya, ke depan banyak karya sastra yang akan lahir dari buah tulisan mahasiswi IAIM Lumajang, kampus siap memfasilitasi dan membiayainya sampai terbit untuk kemudian dinikmati khalayak umum,” ungkap Muhammad Hisan.
Sarah Monica membuka materinya dengan pertanyaan apa itu karya sastra. Lantas Ia menjelaskan bahwa karya sastra karakternya dari sisi tulisannya menarik, artistik dan bila dibaca menenangkan. Karya sastra, kata dia, lahir dari proses perenungan dan imajinasi yang tidak jauh dari realitas kehidupan. Namun, ada juga karya sastra yang berbeda dengan kenyataan sebab untuk membuktikan itu perlu sains untuk mengujinya.
Selanjutnaya, lanjut Sarah, yaitu refleksi. Jadi, hasil imajinasi itu dipantulkan, direfleksikan kembali agar hasil imajinasi bisa menghasilkan karya sastra yang bernilai. Dan, terpenting selain imajinasi dan refleksi, karya sastra membutuhkan kebijaksanaan, bagaimana seorang sastrawan menggambarkan tokoh dalam cerpen maupun novel bisa jadi pelajaran bagi pembacanya.
Tiga fondasi tersebut, menurut Sarah, harus ada dalam diri seorang sastrawan, imajinasi, refleksi dan kebijaksanaan. Kemudian, paling penting adalah membaca sebab mustahil untuk menghasilkan karya sastra yang bernas tanpa diiringi dengan kebiasaan membaca. (Robith F).