Vonis 4 Tahun 6 Bulan terhadap Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong tidak hanya membuat seisi ruang sidang bergetar karena palu hakim. Tapi, juga membuat riuh jagat politik dan opini publik, media sosial ramai dengan cuitan penyesalannya atas putusan tersebut, akademisi hingga bapak-bapak di warung kopi menggelengkan kepalanya, serasa tidak percaya, alih-alih akan mendapat putusan bebas justru diluar akal sehat manusia sebab dalam kasus tersebut tidak ditemukan unsur menguntungkan pribadi dan juga tidak ada niatan jahat (Mens Rea).
Meski bukan pakar hukum, sebagai akademisi vonis terhadap Tom menggugah naluri dan akal sehat ruang akademis untuk turut berbicara dan menyuarakan pentingnya tidak menjadikan hukum sebagai instrumen kekuasaan sebab dampaknya akan berkepanjangan. Salah satunya, pejabat publik yang bersih penuh dengan inovasi dan kreatifitas akan berfikir seribu kali untuk menyumbangkan pikirannya, mereka akan merasa dihantui rasa khawatir bernasib sama dengan Tom bila dikemudian hari terdapat kesalahan administrasi terhadap kebijakannya.
Menteri mendatang juga bakalan ragu-ragu untuk mengambil kebijakan serupa meski faktanya, stok beras kekurangan, stok gula menipis dan berbagai kebutuhan pokok lainnya sedang sekarat. Dampaknya, bukan hanya membuat rakyat bingung tapi akan semakin tercekik dengan harga yang tinggi, sebagaimana hukum ekonomi, ketika suplai terbatas dan deman tinggi, maka produk tersebut harganya bakal melambung. Siapakah yang salah ? Jangan salahkan pejabat terkait, itu karena Tom Lembong Effect.
Menurut teori komunikasi kekuasaan Michel Foucault, vonis terhadap Tom Lembong dapat dipahami sebagai bentuk normalisasi hukum, yakni ketika kekuasaan menciptakan kebenarannya sendiri melalui penegak hukum. Dalam rezim seperti ini, hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan alat untuk mengatur siapa yang boleh membuat kebijakan dan siapa yang harus dibungkam.
Sedemikian suramnya dunia hukum saat ini, tidak boleh dibiarkan berlanjut, siapapun yang masih memiliki harapan akan perubahan, harus bersuara, harus meresponnya dengan keras, lewat cuitan di medsos, lewat tulisan-tulisan perlawanan di media massa. Kabarnya, kuasa hukum Tom menyatakan banding atas vonis tersebut, siapapun yang memiliki kerasahan yang sama, harus bersikap, agar kredibilitas peradilan tinggi memahami bahwa publik sedang resah, gelisah dan marah bahkan muak terhadap penguasa yang memainkan hukum untuk kepentingannya.
Penulis: R. Fahmi