Selasa, Juni 10, 2025

Nasab yang Terhormat, Nasib yang Tertinggal: Refleksi Sosial Hari Ini

Oleh: Kamelia Mustafa

Miris rasanya melihat orang yang memiliki nasab (garis keturunan) baik, tetapi kehidupannya justru tidak mencerminkan kemuliaan leluhurnya. Mereka bangga akan kejayaan para pendahulu, tetapi tak pernah benar-benar meneladani akhlak dan perjuangan mereka. Lebih parahnya, ada yang sampai merendahkan orang lain hanya karena merasa keturunannya lebih mulia.

Dalam pernikahan, konsep kafaah (kesetaraan) memang diperhatikan agar tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi atau rendah. Namun, bagaimana dengan kehidupan sosial secara umum? Sebenarnya, yang lebih penting dari kafaah bukan sekadar nasab, tetapi penyesuaian karakter. Rasulullah SAW memang menganjurkan untuk mencari pasangan yang berasal dari keturunan baik, tetapi yang lebih utama adalah memilih seseorang dengan akhlak yang baik. Sebab, nasab baik bisa dibentuk dari karakter yang baik, sedangkan nasab baik tidak menjamin seseorang memiliki akhlak yang luhur.

Sejatinya, memiliki garis keturunan yang baik adalah anugerah. Jika digunakan dengan benar, seseorang dapat menjadi teladan dan memberikan pengaruh positif bagi banyak orang. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

وَمِنْ آبَآئِهِمْ وَذُرِّيّٰتِهِمْ وَاِخْوَانِهِمْۚ وَاجْتَبَيْنٰهُمْ وَهَدَيْنٰهُمْ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Artinya:
Dan Kami lebihkan pula derajat sebagian dari nenek moyang mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Kami telah memilih mereka (menjadi nabi dan rasul) dan mereka Kami beri petunjuk ke jalan yang lurus. (QS Al-An’am : 87)

Namun, jika keistimewaan ini tidak dimanfaatkan dengan baik, justru bisa menjadi boomerang. Nasab baik tanpa karakter yang baik hanya akan menjerumuskan seseorang ke dalam kesombongan. Sering kali, mereka yang terlahir dari keturunan terpandang merasa terbiasa dihormati, sehingga mudah terjebak dalam ego dan superioritas palsu. Ini berbahaya, kecuali bagi mereka yang memiliki kerendahan hati (tawadhu’).

Penting untuk kita pahami bahwa nasab bukanlah tolok ukur utama dalam kehidupan. Ia tidak menjamin kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan keselamatan di akhirat. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa nasab akan terputus pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah:

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila terompet ditiup (kelak pada hari kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanggungjawab”. (QS Al-Mu’minun :101)

Dalam budaya Jawa, ada istilah “Kakudung Welulang Macan” yang berarti “berselimut di bulu harimau”. Harimau atau singa dikenal sebagai penguasa hutan, tetapi tanpa kekuatan aslinya, bulu harimau hanyalah selimut biasa. Ini bisa diibaratkan dengan seseorang yang hanya mengandalkan nama besar orang tuanya tanpa memiliki kemampuan nyata. Mereka berlindung di bawah nama ayahnya, merasa akan selalu mendapatkan kehormatan hanya karena garis keturunannya, padahal tanpa usaha dan karakter yang kuat, mereka bukanlah siapa-siapa.

Oleh karena itu, kita harus meneladani tanaman padi—semakin berisi, semakin merunduk. Bukan seperti tebu, yang semakin besar justru semakin mendongak. Keistimewaan nasab seharusnya menjadi motivasi untuk terus berkembang dan menjadi lebih baik, bukan sekadar kebanggaan yang membuat seseorang merasa tinggi tanpa usaha nyata.

Kesimpulannya, memiliki nasab mulia memang suatu kelebihan, tetapi yang lebih berharga adalah memiliki karakter yang baik dan menjadi pribadi yang bermanfaat. Jangan hanya menjadi pewaris nama, tetapi jadilah perintis kebaikan. Sebab, nasib kita bukan ditentukan oleh nasab, melainkan oleh usaha dan karakter yang kita bangun sendiri.

Penulis: Kamelia Mustafa ialah Mahasiswi IAIM Lumajang Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Semester II

Editor: Nabila N.A

Artikel Terkait

Artikel Terbaru