Senin, 3 Agustus 2025, saya berkesempatan melakukan wawancara santai dengan salah satu guru senior sekaligus tokoh masyarakat di wilayah La-Ngu, Satun, Thailand—Guru Hudden Ussama. Wawancara ini berlangsung di OB-OM School, tempat saya menjalani KKN Internasional, dan membahas budaya pernikahan di Thailand, mulai dari urgensinya, tren angka pernikahan, hingga proses pelaksanaannya.
Pernikahan sebagai Ujian Umat Muslim Thailand
Menurut Guru Hudden, pernikahan memiliki urgensi yang sangat tinggi bagi umat Muslim Thailand. Selain sebagai perintah agama, pernikahan juga menjadi ujian tersendiri karena adanya pengaruh budaya yang kurang mendukung, sehingga membuat proses pernikahan tidak mudah. Di Provinsi Satun, jarang ditemukan pernikahan dini; sebagian besar orang menikah pada rentang usia 20–30 tahun. Kondisi ini berbeda dengan daerah lain seperti Narathiwat dan Pattani, di mana pernikahan dini masih cukup sering terjadi.
Bagi umat Muslim di Thailand yang hidup sebagai minoritas, pernikahan tidak hanya dipandang sebagai penyatuan dua individu, tetapi juga sebagai salah satu bentuk mempertahankan identitas dan memperkuat komunitas. Menikah dengan sesama Muslim menjadi hal yang sangat penting demi menjaga kemurnian ajaran, terutama di tengah lingkungan yang penuh dengan pengaruh budaya dan tradisi non-Islam. Dalam situasi ini, pernikahan menjadi sebuah benteng sosial dan spiritual untuk melestarikan nilai-nilai agama di tengah arus globalisasi dan modernisasi.
Namun, tantangan itu bukan hanya datang dari luar. Lingkungan sosial yang didominasi budaya mayoritas non-Muslim seringkali membuat generasi muda Muslim terpapar gaya hidup yang berbeda dengan ajaran Islam, termasuk pandangan yang lebih longgar terhadap hubungan sebelum menikah. Faktor ini menuntut keteguhan iman dan kesadaran diri yang tinggi bagi setiap Muslim yang ingin menjaga kemurnian ajaran agamanya. Karena itulah, tokoh masyarakat seperti Guru Hudden menekankan pentingnya pendidikan pra-nikah yang tidak hanya membahas hukum dan syarat pernikahan, tetapi juga membekali generasi muda dengan kemampuan menyaring pengaruh budaya yang tidak sesuai dengan nilai Islam.
Penurunan Angka Pernikahan
Guru Hudden menjelaskan bahwa angka pernikahan di Thailand cenderung menurun signifikan. Salah satu penyebabnya adalah ketidakseimbangan jumlah penduduk: populasi perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Namun, tidak semua perempuan tertarik untuk menikah—bahkan 40–50% di antaranya memilih untuk tidak menikah karena berbagai alasan, termasuk kurangnya kepercayaan kepada lawan jenis.
Dari sisi laki-laki, tantangannya tidak kalah besar. Banyak laki-laki di Thailand minim pendidikan keislaman, sebagian mengonsumsi minuman keras yang legal dan mudah diperoleh di pasaran. Selain itu, jumlah laki-laki memang lebih sedikit dibanding perempuan, dan faktor ekonomi juga berperan besar. Mahar pernikahan di Satun berkisar antara 150.000–300.000 bath (sekitar Rp75–151 juta). Untuk kalangan pejabat atau “keluarga kerajaan” (setara PNS di Indonesia), mahar bisa mencapai 500.000 bath (sekitar Rp252 juta). Biaya yang tinggi ini membuat banyak laki-laki menunda atau bahkan menghindari pernikahan.
Proses dan Tradisi Pernikahan
Di Satun, proses pernikahan dimulai dari lamaran. Dahulu, pihak laki-laki datang bersama keluarga untuk meminang perempuan secara langsung. Namun kini, banyak lamaran diawali melalui media sosial seperti Facebook atau Instagram. Setelah disepakati, ditentukanlah tanggal akad dan resepsi.
Akad nikah dilaksanakan di AJK (Ahli Jawatan Kuasa)—lembaga yang mengurusi berbagai urusan keagamaan termasuk pernikahan. Dalam prosesi akad, kedua mempelai mengucapkan syahadat, bertaubat, dan mempelai pria diuji pengetahuan tentang rukun nikah serta menyebutkan mahar yang diberikan. Imam membacakan khutbah nikah sebelum akad, kemudian doa penutup. Di Satun, banyak wali yang menyerahkan tugas menikahkan anaknya kepada imam di AJK. Setelah akad, kedua mempelai menerima buku nikah dan memberikan tanda jasa kepada imam sebesar 1.000 bath (sekitar Rp500 ribu).
Resepsi pernikahan di Satun berbeda dengan di Indonesia. Tidak ada pembacaan ayat suci Al-Qur’an, shalawat, atau doa bersama. Tamu yang datang langsung disuguhi minuman dingin dan hidangan khas Thailand. Mereka memberikan amplop berisi uang, namun nominalnya tidak dicatat seperti tradisi di Indonesia.
Tantangan dan Harapan
Wawancara ini menyimpulkan bahwa menurunnya angka pernikahan di Thailand bukan sekadar masalah personal, tetapi terkait erat dengan faktor budaya, sosial, dan ekonomi. Bagi tokoh masyarakat dan para imam, ini menjadi tantangan besar untuk memberikan pendidikan keislaman yang kuat, khususnya dalam bidang munakahat.
Guru Hudden menegaskan, tujuannya bukan untuk mengumbar kekurangan, tetapi memberi gambaran nyata tentang betapa pentingnya menjaga akal sehat dalam menjalani kehidupan. Menurut beliau, beragama Islam saja belum cukup jika tidak disertai kemampuan menggunakan akal sehat yang telah dianugerahkan Allah SWT sebagai karunia terbesar.
Yusuf Maulana, Mahasiswa KKN International Tahun 2025 di Satun Thailand Semester VI Program Studi Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah, IAIM Lumajang