Oleh; Mochammad Hisan
Dikalangan santri dan alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul Jatiroto Lumajang atau yang lebih dikenal dengan nama Pondok Banyuputih (nyupote; madura), tidak asing dengan kalimat “Gerak Batin”. Di Pondok Banyuputih, Gerak Batin merupakan kegiatan sunnah yang dilaksanakan setiap malam pukul 00.00 dini hari di Masjid, setelah rampungnya kegiatan-kegiatan wajib kepesantrenan (ma’hadiyah), kewajiban ngaji kitab, kewajiban sekolah madrasah dan kegiatan-kegiatan wajib lainnya dalam rentang satu hari penuh. Para santri, lintas generasi, lintas Angkatan, lintas asrama, dianjurkan untuk mengikuti, namun bila tidak ikut, tidak dipermasalahkan. Bisa saja satu malam, seorang santri ikut kegiatan gerak batin dan pada malam berikutnya tidak ikut berkegiatan.
Pelaksanaan Gerak Batin dipimpin oleh seorang ustadz yang sudah dipilih dan ditunjuk langsung oleh KH. Muhammad Husni, pengasuh Pondok Pesantren Banyuputih. Dalam prakteknya, ustad yang diberi tugas untuk memandu pelaksanaan Gerak Batin, mengawali dengan bertawassul, kemudian memimpin sejumlah dzikir tertentu dengan jumlah tertentu serta mengakhiri dengan pembacaan doa yang diamini oleh semua santri yang mengikuti kegiatan Gerak Batin. Berakhirnya kegiatan gerak batin menandai berakhirnya seluruh rangkaian kegiatan santri yang dilaksanakan secara berjamaah, dilaksanakan dengan cara bersama-sama.
Kegiatan Gerak Batin merupakan kegiatan yang dilestarikan dari para mu’assis terdahulu, saat penulis berbincang dengan para alumni lintas pengasuh -alumni yang pernah merasakan kepemimpinan Kiai Zuhri, pengasuh pertama Pondok Banyuputih, kiai Toyyib dan kiai Baist-, kegiatan Gerak Batin ini memang sudah ada sejak dahulu kala, al-muhafadzotu ‘ala al-qodimis shaleh, begitulah jawaban para alumni ketika penulis menanyakan sejak kapan kegiatan gerak batin ada.
Kenapa diberi nama “Gerak Batin” dan kenapa waktunya harus dini hari (nisful lail), dalam konteks inilah tulisan ini dihadirkan?.
Secara umum gerak diartikan dengan perubahan posisi, keadaan, atau kondisi suatu benda atau objek dalam ruang dan waktu. Gerak dapat dilihat sebagai perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, perubahan kecepatan, atau perubahan dalam bentuk atau posisi objek.
Ada banyak filosof muslim yang memberikan penjelasan tentang gerak, Al-Farabi misalnya, seorang filosof Muslim yang memiliki julukan guru kedua setelah Aristoteles. Menurutnya, gerak adalah proses menuju kebaikan dan kesempurnaan yang ditujukan oleh jiwa menuju Allah, gerakan ke arah kesempurnaan” (al-harakah ila al-kamal). Sejalan dengan Al-Farabi, adalah Mulla Sadra, seorang filsuf Muslim abad ke-17, dengan pemikiran ontologisnya yang dia sebut dengan Filsafat Transenden (Hikmah al-Muta’aliyah). Dalam pemikirannya, gerak dipahami sebagai perubahan dan transformasi yang terjadi dalam realitas yang terus bergerak menuju pencapaian eksistensi yang lebih tinggi atau “hakikat al-wujud“. Baik Al-Farabi maupun Mulla Sadra lebih menekankan konsep gerak pada pencapaian tujuannya yang dalam istilah Al-Farabi dikenal dengan ittishol, ketersambungan dengan Allah SWT.
Kemudian, tidak ketinggalan Abu Hamid Al-Ghazali atau yang lebih dikenal dengan Imam Ghazali dalam tradisi pesantren, seorang cendekiawan besar dalam tradisi Islam dengan gelar Hujjatul Islam, mengajukan konsep gerak dalam kerangka pemikiran teologi dan filsafat. Bagi Al-Ghazali, gerak adalah manifestasi dari kehendak Allah yang terus menerus memberikan keberadaan kepada segala sesuatu dalam alam semesta. Bagi Al-Ghazali, gerak tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Allah agar manusia lebih memahami arti keberadaannya (eksistensi).
Dari tiga definisi diatas, terlihat bahwa gerak manusia dari sisi teologisnya tidak bisa dilepaskan dari kehendak Allah SWT sebagai pemberi dan pengatur. Oleh karenanya, semua gerak yang dilakukan akan mencapai kesempurnaan (kamal), bila tetap terhubung dengan esensi yang lebih tinggi, wujud al-‘aliyah.
Sedangkan bathin diartikan dengan yang tersembunyi, sesuatu yang terdapat di dalam hati; sesuatu yang menyangkut jiwa (perasaan hati dan sebagainya). Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, Mantan Ketua Umum PBNU, dalam kuliah tasawufnya menjelaskan bathin manusia memiliki 7 (tujuh) lapisan. Pertama Bashirah; merupakan lapisan terluar batin manusia. Bashirah adalah mata hati untuk memandang sebuah persoalan. Kedua dlomir; kehendak moral yang terbentuk di bawah kendali hati. Ketiga fu’ad; pertimbangan hati yang menjatuhkan vonis bagi tindakan manusia. Keempat zauq; merupakan intuisi perasaan manusia. Kelima Asror; kemampuan melakukan prediksi gaib secara tepat. Ke-enam Riyadloh; penempaan dan penggemblengan batin untuk tetap fokus pada Allah. Dan ketujuh lathifah; kelembutan hati dalam memandang kenyataan apa pun. Lapisan lathifah berimplikasi pada mahabbah, cinta yang tinggi sebagaimana yang ditampakkan oleh Sayyidah Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perilaku tasawufnya, semua karena cinta.
Melihat dari sisi filosofis dan teologis makna gerak batin, tentu para mu’assis Pondok Banyuputih berkeinginan untuk menanamkan kebiasaan agar para santri Pondok Banyuputih, harus terus melapisi semua kegiatan lahiriahnya semata-mata karena Allah dan bertujuan mengharap keridloan Allah SWT, lillah wa ilallah. Disiplin sekolah, tidak pernah terlambat, tidak pernah absen, kewajiban kepesantrenan dilaksanakan sesuai ketentuan, semuanya akan mencapai kesempurnaan (kamal), bila dilakukan atas dasar lillah wa ilallah. Bukankah hal demikian memang sejalan dengan perintah dan anjuran Islam?
Lalu, kenapa dilaksanakan pada tengah malam (nisful lail)?. Banyak para agamawan dengan dasar dalil yang mereka nukil dari Al-Qur’an, hadist tentang keutamaan dan keistimewaan waktu malam, juga kisah-kisah teladan keutamaan ibadah pada malam hari. Misalnya kisah Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana diceritakan KH. Bahauddin Nur Salim (Gus Baha), di channel kalam-kajian Islam. Imam Ahmad bin Hambal sangat menghormati Imam Syafi’I dengan memberikan sebutan faqihus-sunnah (orang yang faham sunnah nabi SAW). Hal itu membuat putri Imam Ahmad bin Hambal merasa heran dengan sikap ayahnya yang setiap malam tidak pernah kurang beribadah sholat malam sebanyak 200 rakaat.
Pada satu malam sang putri Imam Ahmad bin Hambal mengintip apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i. Sang putri ingin membuktikan apakah ibadah malam yang dilakukan Imam Syafi’I lebih hebat dari ayahnya. Ternyata sang putri Imam Ahmad menyaksikan, setelah shalat Isya’ Imam Syafi’i duduk di kursi sambil memegang kepala, habis itu tidur, tiba-tiba bangun lagi sambil memegang kepalanya, lalu tidur lagi, sampai waktu subuh.
Sang putri-pun menceritakan apa yang dilihatnya tersebut, lalu siangnya, Imam Ahmad bin Hambal menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i. “Iya benar, tadi malam saya berpikir 63 masalah. Makanya, saya memegang kepala terus. Baru 43 masalah yang terjawab, sisanya belum ketemu jawabannya,” jawab Imam Syafi’i.
Selain kisah keteladanan diatas, ada banyak dalil Al-Qur’an, Hadits yang menyebutkan bahwa menggunakan waktu malam banyak memiliki banyak kemanfaatan. Salah satunya menyebutkan beribadah diwaktu malam adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kita, bermanfaat sebagai benteng perbuatan dosa dan menghindarkan dari penyakit serta mendapatkan maqom mahmuda. Wallahu A’lam Bishowab