Kami menginjakkan kaki di negeri jiran, tempat nan jauh tidak terbayangkan dari tanah kelahiran. Namun, tempat ini bukan sekadar lokasi KKN sebab di sini kami menemukan makna bersyukur yang sebenarnya, ketika melihat puluhan anak yatim menemukan arti keluarga. Berdiri sejak 2009, berawal dari niat tulus dan keberanian sepasang suami istri, Ustadz Mulyana dan belahan jiwanya. Setahun kemudian, di 2010, rumah ini baru resmi diakui.
Di sini, kami bukan sekadar ‘mengabdi’. Kami belajar tentang kesabaran dari tawa mereka, tentang pengorbanan dari pengurusnya, dan tentang arti berbagi dari setiap sendok nasi yang dibagikan. KKN ini bukan hanya pengalaman, tapi pelajaran hidup yang akan kami bawa pulang selamanya.
Awalnya, hanya ada 10 anak yang tinggal di sini, datang dari berbagai daerah bahkan lintas negara—Myanmar, Malaysia, hingga Indonesia. Waktu berjalan, cinta dan pengorbanan pun bertumbuh. Kini, tahun 2025, 42 anak yatim mendapatkan tempat tinggal, pendidikan, dan bimbingan penuh kasih di bawah atap ini.
Yang membuat kami kagum bukan hanya jumlah anak yang mereka rawat, tapi besarnya pengorbanan yang mereka jalani. Sejak awal, seluruh biaya—makan, sekolah, kebutuhan sehari-hari—ditanggung langsung oleh Ustadz Mulyana dan istrinya, tanpa sponsor besar atau gaji tetap. Semuanya murni dari usaha mereka sendiri. Ustadz Mulyana punya prinsipn “Kalau tidak ada orang yang memberi, maka kitalah yang harus memberi. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
Kini memang ada beberapa donatur tetap, bahkan dari China, tapi mayoritas dana berasal dari hasil keringat mereka: enam kebun sawit luasnya lebih dari dua hektare, usaha catering, hingga jual beli sapi dan kambing. Semua itu mereka kelola bergiliran, siang malam, tanpa lelah—bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk memberi kehidupan bagi anak-anak ini.
Yang membuat kami kian terharu, seluruh hasil bisnis Ustadz Maulana, selain untuk kebutuhan keluarga, selebihnya diserahkan untuk anak yatim. “Buat apa harta,” katanya, “kalau hanya untuk kita sendiri.” Padahal, kalau mau jujur, Ia bisa saja hidup mewah. Usahanya berjalan lancar, asetnya ada, dan penghasilannya jelas tidak sedikit. Tapi justru di situ letak keteladanannya—meskipun kaya, Ia tetap hidup sederhana, tidak silau dengan gemerlap dunia, dan selalu menjaga hati untuk terus berbagi.
Darinya kami belajar bahwa kekayaan sejati bukan di dompet, tapi di hati. Kebaikan itu bukan tentang berapa banyak yang kita punya, tapi berapa banyak yang kita bagi. Bagi kami, ini bukan sekadar kisah mengurus rumah yatim. Ini adalah kisah keberanian melawan ego, melawan kenyamanan pribadi, demi menghidupi orang lain. Jarang sekali ditemui orang yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan keuntungan pribadi demi memastikan ada piring nasi di depan anak-anak yatim setiap hari.
Pesan yang kami dapat: kebaikan tidak selalu butuh kata-kata besar, tapi aksi nyata yang konsisten. Dan Ustadz Mulyana adalah buktinya—bahwa ketika hati ikhlas, Allah akan cukupkan segalanya. Darinya kita bisa memetik banyak pelajaran: arti keikhlasan, pentingnya berbagi, keteguhan dalam berjuang, hingga bagaimana menjaga hati agar tidak sombong meskipun hidup berkecukupan. Kami berharap, kisah ini tidak hanya membuat terharu, tapi juga membuat kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita memberi manfaat untuk orang lain, atau masih sibuk mengurus diri sendiri?