Thailand dikenal sebagai Negeri Gajah Putih, dengan mayoritas penduduknya menganut agama Buddha. Gajah menjadi simbol suci dan agung bagi kepercayaan mereka. Namun di balik dominasi tersebut, di beberapa wilayah seperti Pak Nam La-Ngu, Satun tempat saya mengikuti KKN Internasional, terdapat komunitas Muslim yang taat dan aktif menjalankan nilai-nilai agamanya, khususnya dalam hal menjaga kehalalan.
Saya berkesempatan berdialog dengan seorang tokoh masyarakat bernama Hussen Ussama, atau lebih dikenal dengan Cekgu Hudeen. Beliau mengatakan bahwa Islam di wilayah selatan Thailand berkembang dengan sangat pesat, terutama di daerah-daerah pinggiran. Bahkan menurut seorang guru di OB-OM School, Cekgu Abid, jumlah Muslim di La-Ngu telah mencapai sekitar 85% dari total penduduk dengan angka yang mencerminkan dominasi komunitas Muslim di kawasan tersebut.
Kesadaran masyarakat Muslim di Thailand terhadap halal dan haram begitu tinggi. Mereka sangat selektif dalam memilih produk makanan dan minuman. Logo halal menjadi penanda penting yang menentukan boleh atau tidaknya suatu produk dikonsumsi. Berbeda dengan Indonesia, di mana mayoritas produk sudah halal secara umum, di Thailand umat Islam harus ekstra hati-hati karena mereka adalah minoritas.
Sertifikasi halal di Thailand dikelola oleh The Central Islamic Council of Thailand (CICOT) yang bekerja sama dengan Kantor Komite Islam Provinsi. Logo halal resmi Thailand biasanya berbentuk segi delapan dengan tulisan “Halal” dalam bahasa Arab dan Thai. Sertifikasi ini mengatur proses mulai dari pemilihan bahan baku, metode penyembelihan, pengolahan, hingga distribusi, agar sesuai dengan syariat Islam.
Di Thailand, produk yang telah memiliki sertifikat halal tidak hanya beredar di wilayah mayoritas Muslim seperti Pattani, Yala, Narathiwat, atau Satun, tetapi juga di kota besar seperti Bangkok. Namun, bagi Muslim di daerah minoritas, keberadaan logo halal ini menjadi panduan utama sebelum membeli makanan atau minuman. Inilah mengapa saya melihat sendiri bagaimana Cekgu Din menolak membeli produk di 7-Eleven hanya karena tidak ada label halal resmi dari CICOT.
Menariknya, meskipun banyak restoran internasional seperti KFC atau McDonald’s di Thailand, tidak semua outlet mereka memiliki sertifikasi halal. Hal ini berbeda dengan di Indonesia. Bahkan, sebagian masyarakat Muslim di sini menghindari KFC karena proses penyembelihannya dinilai tidak sesuai syariat.
Isu halal-haram tidak hanya dibahas di ranah keluarga atau komunitas, tetapi juga menjadi bagian penting dalam kurikulum tarbiyah di sekolah-sekolah Muslim seperti OB-OM School. Setiap pekan, para guru secara bergantian memberikan edukasi tentang halal dan haram kepada peserta didik setelah apel pagi. Mereka menanamkan nilai ini sejak dini agar siswa tidak hanya tahu teori, tetapi juga mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari pengalaman ini, saya menyimpulkan bahwa meskipun umat Islam di Thailand adalah minoritas, mereka sangat serius dalam menjalankan ajaran agamanya. Mereka tidak hanya menjaga kehalalan konsumsi pribadi, tetapi juga menyebarkan kesadaran ini melalui pendidikan, regulasi sertifikasi, dan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana menjadi Muslim yang teguh dan cermat di tengah lingkungan yang berbeda keyakinan.
Yusuf Maulana, Mahasiswa KKN International Tahun 2025 Semester IV Program Studi Pendidikan Bahasa Arab – Fakultas Tarbiyah, IAIM Lumajang