Jumat, Desember 5, 2025

Pesantren dan Santri Era Sekarang

Oleh: Mochammad Hisan

Hari itu, tepatnya sabtu, 16 Agustus 2025, satu hari menjelang peringatan HUT RI ke-80 tahun, saya berkesempatan menemani perjalanan KH. Faiz Syukron Makmun, akrab dengan sapaan Gus Faiz dari Bandara Juanda menuju Ranting NU Desa Karang Bayat Kecamatan Sumberbaru Kabupaten Jember dan pada jam yang berbeda pada hari itu juga, Sabtu 16 Agustus 2025 dari desa Karang Bayat menuju Bandara Juanda Surabaya Terminal A1.

Perjalanan baik berangkat maupun pulang tidak membutuhkan waktu lama, karena perjalanan kita di pandu Patwal Poda Jawa Timur. Satu kali perjalanan biasanya ditempuh kurang lebih 2,5 hingga 3,5 jam. Dengan bantuan Patwal Polda Jawa Timur, perjalanan bisa dipercepat kurang lebih 1,5 setengah sudah berada dititik lokasi yang dituju.

Siapa sosok Gus Faiz, menjabat apa sekarang, kok dalam perjalanannya dikawal Patwal Polda Jawa Timur dan kehadirannya dinanti ribuan jamaah, umat Islam? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu muncul dibenak pembaca tapi biar saja tidak akan saya jawab. saya memberikan kesempatan pada pembaca searching di media-media sosial, tiktok, Instagram, facebook, youtube dan media sosial lainnya. Yang jelas, sosok Gus Faiz hari ini menjadi salah satu ikon Da’i Indonesia yang sedang naik daun dan ceramah-ceramahnya banyak diterima oleh masyarakat pada umumnya. Tidak hanya dipanggung terbuka, namun di forum-forum ilmiah kehadiran beliau dinantikan.

Meskipun perjalanan dari Surabaya menuju Sumberbaru Kabupaten Jember dan dari Sumberbaru menuju Surabaya tidak memerlukan waktu seperti biasanya, namun banyak tema-tema pembicaraan menarik terutama yang berkaitan dengan pondok pesantren, santri era sekarang, tantangan yang dihadapi dan perlunya pondok pesantren sesegera mungkin melakukan penyesuaian tanpa menghilangkan esensi sebagai benteng pendidikan moral.

Gen Z dan Alpha; Potret Santri Hari Ini

Baik saya maupun Gus Faiz bersepakat  bahwa santri sekarang berbeda dengan santri sepuluh, dua puluh tahun yang lalu. Sebelum mondok mereka lahir, tumbuh dan berkembang dilingkungan yang berbeda dengan masa-masa santri sepuluh, dua puluh tahun yang lalu. Santri generasi Z dan Generasi Alpha”, begitulah mereka disebut dan digolongkan. Makhluk seperti apa Generasi Z (Gen-Z) dan Generasi Alpha (Gen-Alpha) ini dan bagaimana mereka hidup? Mari kita telusuri lebih jauh untuk menemukan pemahaman dan gambaran yang utuh.

Istilah Gen Z dan Gen Alpha mengacu pada hasil penelitian Mark McCrindle, seorang peneliti sosial peraih nobel di Australia. Mark menjelaskan bahwa Generasi Z dan Alpha dilekatkan pada anak-anak yang lahir dalam rentang tahun 1995 sampai 2014. Sedangkan Generasi Alpha mengacu pada anak-anak yang lahir dalam rentang tahun 2010 hingga seterusnya.  Masih menurut Mark, lebih dari 2,5 juta Gen Alpha lahir di seluruh dunia setiap minggu. Ketika mereka semua lahir (2025), jumlah mereka akan mencapai hampir 2 miliar.

Lalu, bagaimana kedua generasi ini hidup dan berkembang? Adalah Erfan Ghazali dalam tulisannya, Pesantren Di Antara Generasi Alfa Dan Tantangan Dunia Pendidikan Era Revolusi Industri 4.0, mengatakan mereka, gen-Z dan Gen-Alpha, akan bermain, belajar, dan berinteraksi dengan cara baru. Mereka dilahirkan di era digital, dimana perangkat teknologi berada pada tingkat kecerdasan yang tinggi. Lingkungan fisik dan digital saling terhubung menjadi satu. Ketika mereka tumbuh dewasa, teknologi telah menjadi bagian hidup mereka dan akan membentuk pengalaman, sikap, dan harapan mereka terhadap dunia. Beberapa ahli saraf dan psikolog bahkan percaya bahwa pola pikir mereka akan berbeda dari generasi sebelumnya. Konsep “terkoneksi jaringan internet” adalah pusat aktifitas generasi Alfa, bahkan melebihi generasi Z sebagai pendahulu mereka.

Gen-Z maupun Gen-Alpha mayortitas terlahir dari pasangan generasi sebelumnya, generasi Y (generasi yang lahir di atas tahun 1980 an – 1997). Ketiga generasi ini, yakni generasi Y, Z dan Alpha sama-sama hidup dilingkungan kecanggihan teknologi. Smartphone dan akses jaringan internet menjadi salah satu trand perilaku dan life style mereka. Bila ditanya lebih memilih mana antara membeli jajan (snack) dan membeli kuota internet, maka paket kuota data untuk mengakses internet adalah pilihannya. Bagi tiga generasi ini, akses jaringan internet dan smartphone ditempatkan sebagai kebutuhan pokok tambahan.

Kemudian, baik generasi Alpha, Z, maupun Y sama-sama hidup pada dua ruang dunia, nyata dan maya tanpa dinding sekat pembatas yang sangat tipis sekali, dinding sekat yang tidak jelas. Karena hal inilah, seringkali ketiga generasi ini menjadi korban oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang menyalah gunakan dunia digital untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Mulai dari kasus oversharing, korban berita hoax, cyber bullying dan lain sebagainya.

Banyak informasi pemberitaan media yang membenarkan pernyataan diatas, misalnya kasus oversharing masalah rumah tangga aktris yang sangat populer, Baim Wong seperti yang ditulis oleh Salsabila Putri, Oversharing di Media Sosial. Pada awal Mei 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan beredarnya sebuah rekaman percakapan pribadi antara Baim dan istrinya, Paula Verhoeven. Dalam rekaman tersebut membahas masalah rumah tangga mereka dan kemudian tersebar di media sosial serta memicu berbagai spekulasi, komentar dari warga dunia maya.

Baim memberikan klarifikasi bahwa dia sendiri tidak mengetahui bagaimana rekaman tersebut bisa disebarkan. Ia mengaku menjadi korban karena privasinya telah dilanggar dan kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik tanpa persetujuan.

Kasus ini menjelaskan bahwa oversharing tidak selalu terjadi karena niat individu untuk membuka diri secara berlebihan diruang media sosial. Terkadang, informasi pribadi dapat disebarkan secara tidak sengaja atau tanpa izin, namun tetap menimbulkan konsekuensi serupa: tekanan psikologis, rusaknya citra diri, hingga hilangnya kendali atas narasi pribadi.

Di sisi lain, kasus oversharing juga bisa muncul dari individu itu sendiri, bukan karena kebocoran informasi tanpa izin melainkan sebagai pilihan sadar untuk membagikan pengalaman pribadi di ruang publik. Seperti yang terjadi pada Siti Jamumall, seorang influencer asal Malaysia.

Pertengahan Mei 2025, Siti tengah melakukan siaran langsung di TikTok untuk mempromosikan produk jualannya. Dalam suasana yang tampak santai dan personal, Siti mulai membagikan cerita tentang kehidupan rumah tangganya, termasuk dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang pernah ia alami dari sang suami, Khairul Aiman Abdul Kudus.

Meskipun kemungkinan besar niat Siti adalah untuk berbagi pengalaman atau memberi pelajaran hidup, langkah tersebut justru berbalik menjadi bumerang. Tidak lama dari curhatan Siti, Aiman muncul dalam siaran langsung dan secara emosional menjatuhkan talak dua kepada Siti di saksikan langsung oleh ribuan penonton. Padahal Siti dalam kondisi sedang hamil lima bulan dan rumah tangganya dengan Aiman baru saja rujuk.

Kejadian Siti merupakan bentuk nyata dari oversharing, ketika informasi yang sangat pribadi dan sensitif dibuka ke ruang publik tanpa mempertimbangkan dampaknya. Akibatnya, follower Siti yang mencapai ribuan seketika berubah menjadi komentator, bahkan menjadi “hakim virtual” yang menilai, menyebarkan ulang potongan video, dan menciptakan opini terhadap kehidupan rumah tangga orang lain.

Fakta diatas, menunjukkan betapa tidak ada batas antara keterbukaan dan pembukaan aib. Paltform media sosial memang menjadi alternatif ruang curhat, mencari dukungan, namun tanpa bekal edukasi literasi digital yang cukup, platform ini juga bisa menjadi penyebab masalahnya bertambah runyam dan mengubah tragedi pribadi menjadi tontonan massal.

Oversharing, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun kejahilan oknum yang tidak bertanggung jawab, mewajibkan kita untuk lebih bijak dalam menempatkan cerita pribadi di ruang digital yang tak memiliki sekat, saring sebelum sharing meminjam istilahnya Gus Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI NU Australia dan New Zeland.

Bagaimana seharusnya..?

Adalah Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah berkata dalam kalam hikmahnya, didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu. Kalam hikmah ini mengajarkan kita untuk menjadikan kemajuan teknologi dan digitalisasi sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan bentuk metode pendidikan yang relevan pada santri Gen-Z dan Gen-Alpha.

Sudah maklum, kemajuan teknologi dengan semua platformnya mengalami lompatan yang sangat luar biasa, belum lagi perkembangan kecerdasan buatan, Artificial Intellegence (AI) dengan semua kemampuannya menjadi tambahan tantangan tersendiri bagi santri Gen-Z dan Gen-Alpha.

Maka sudah tidak bisa dihindarkan lagi, pondok pesantren perlu sesegera mungkin merumuskan edukasi literasi digital sehingga bisa menjadi media yang bermanfaat untuk mencapai tujuan ideal pendidikan pondok pesantren satu sisi dan pada sisi yang lain sebagai lembaga dakwah sosial keagamaan.

Misalnya seperti yang disampaikan Gus Faiz, untuk menghafal mufrodat bahasa arab hari ini bisa menggunakan aplikasi media game yang sudah bisa download dengan mudah di playstor maupun di app store. “Santri-santri di pondok saya sudah mulai saya latih seperti itu”, ungkap Gus Faiz.

Dengan meleknya Gen-Z dan Gen-Alpha pada penggunaan teknologi tentunya hal itu akan sangat memudahkan. Menghafal mufrodat dengan perasaan senang, riang gembira secara psikologis akan lebih mudah mengingatnya.

Artikel Terkait

Artikel Terbaru