Oleh: Mochammad Hisan
“Para ulama, para kyai terdahulu mereka besar dan alim (pinter) karena mereka sering baca di Perpustakaan”, begitulah dawuh KH. Husni Zuhri pada suatu waktu melalui sambungan telephone kepada saya.
Perpustakaan adalah jantungnya lembaga apapun termasuk Perguruan Tinggi. Kalau sebuah lembaga, tidak memiliki perpustakaan ibarat manusia tanpa jantung alias mati atau memiliki perpustakaan namun aktivitasnya masih la yamutu wala yahya, tidak bermutu dan tak bernyawa, maka seperti manusia mengidap penyakit jantung lemah, mudah kagetan, daya imunitasnya rendah dan susah diajak berlari kencang. Kita seringkali mendengar “orang tiba-tiba mati karena serangan jantung”, begitulah perumpamaan Lembaga Pendidikan yang tidak memiliki ataupun tidak memfungsikan keberadaan perpustakaannya. Sering kagetan, tidak memiliki imunitas pengetahuan dan bisa mati mendadak.
Keberadaan perpustakaan sangat berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan bahkan bisa melanggengkan serta mengantarkan kejayaan sebuah imperium kekuasaan. Kita bisa melihat bagaimana dinasti Abbasiyah mulai dari Khalifah kedua, Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Makmun (813-833 M) mengantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan atau dengan istilah yang lebih dikenal dikalangan umat Islam sebagai sebagai abad keemasan (the golden age of islam). Bukan dengan ekspansi peperangan maupun perebutan kekuasaan, namun dengan membangun peradaban ilmu pengetahuan yang disimbolkan dengan pengelolaan dan pengembangan perpustakaan “Baitul Hikmah”.
Perpustakaan “Baitul Hikmah” yang berpusat di Bagdad, Irak dijadikan sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan. Berbagai kegiatan penerjemahan buku-buku kedalam bahasa arab, penulisan kitab, obsevatorium, ruang membaca tumbuh subur. Untuk menggunakannya, tidak hanya hanya kalangan cendikiawan muslim yang diperbolehkan, namun terbuka secara umum, cendikiawan hindu, yahudi dan Kristen juga diperbolehkan belajar di Baitul Hikmah.
Pun, Perpustakaan al Qowariyyin yang didirikan pada tahun 859 M di Fez Maroko oleh seorang sarjana Wanita muslim kaya raya, Fatima Al Fihri. Konon, menurut hasil penelitian UNESCO perpustakaan al-Qowariyyin adalah perpustakaan tertua didunia dan masih dipergunakan hingga hari ini. Dari perpustakaan ini lahir tokoh-tokoh cendikiawan muslim yang melegenda dan karya-karyanya tersimpan hingga hari ini. Misalnya karya Ibnu Khaldun “al Muqodimmah” yang ditulis pada abad ke-14, Al-Qur’an abad ke-9 yang ditulis dalam kaligrafi kufic dan sebuah manuskrip tentang hukum Islam Mazhab Maliki oleh ahli hukum dan filsuf sepanyol, Ibnu Rusyd (1198). Kemudian penyair dan filsuf mistik, Ibnu Arabi (1165-1240) pernah belajar di al-Qowariyyin pada ke-12 masehi. Perpustakaan Al-Qowariyyin memainkan peran utama dalam menstransfer pengetahuan antara muslim dan barat.
Dua potret sejarah diatas membenarkan bahwa perpustakaan memiliki peran penting dalam sebuah lembaga terlebih Perguruan Tinggi. Karenanya, saya dan keluarga besar IAIM Lumajang ketika menerima arahan dari ketua Pembina Yayasan Miftahul Ulum, KH. Muhammad Husni agar perubahan kelembagaan perguruan tinggi dari STAI menjadi Institut Agama Islam (IAI) tidak hanya sekedar formalitas semata atau hanya menaikkan taraf bargaining position kelembagaan, maka memulai melakukan penataan perpustakaan di IAIM Lumajang adalah sebuah keharusan yang wajib disegerakan. Semoga…!!!
