Selama menjalani KKN Internasional di Distrik Chana, Provinsi Songkhla, Thailand, saya berkesempatan menyelami tradisi religius masyarakat Muslim setempat yang begitu hidup dan penuh makna. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika saya ikut serta dalam tradisi tabarrukan dengan shalat hajat, sebuah praktik ibadah yang bukan hanya bermakna spiritual, tetapi juga menjadi perekat sosial dan peneguh identitas umat Islam di Thailand Selatan.
Meski umat Islam di Thailand hanya sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk dan berstatus sebagai minoritas, kehidupan beragama mereka terasa begitu kokoh. Tradisi shalat hajat yang dipadukan dengan semangat tabarruk menjadi bukti bagaimana Islam dijalani dengan penuh kesungguhan sekaligus menyatu dengan budaya lokal.
Saya sendiri berkesempatan dua kali mengikuti pelaksanaan shalat hajat selama KKN. Kesempatan pertama adalah saat acara peletakan batu pertama pembangunan gedung baru Rungrote Wittaya School. Masyarakat berkumpul di masjid, dipimpin oleh tokoh agama setempat, lalu melaksanakan shalat hajat berjamaah. Doa-doa dipanjatkan dengan penuh harap, agar pembangunan sekolah berjalan lancar, bermanfaat, dan membawa keberkahan. Suasananya begitu khidmat, menyatukan kepentingan pendidikan dengan doa bersama seluruh warga.
Kesempatan kedua datang ketika saya diundang ke rumah salah seorang warga di Desa Ban Na. Keluarga tersebut mengadakan shalat hajat untuk mendoakan anggota keluarganya yang sedang sakit. Saya ikut larut dalam suasana doa penuh ketulusan, di mana setiap kalimat permohonan yang dipanjatkan seolah bukan hanya milik keluarga itu saja, melainkan menjadi doa bersama seluruh jamaah yang hadir. Seusai shalat, kami duduk bersama menikmati hidangan sederhana, namun kehangatan silaturahmi yang tercipta terasa begitu mendalam dan sulit dilupakan.
Dari pengalaman itu saya belajar bahwa tabarruk bermakna mencari keberkahan melalui amal kebaikan, sementara shalat hajat adalah ikhtiar spiritual untuk memohon pertolongan Allah atas hajat tertentu. Di Songkhla, kedua hal ini berpadu dalam bentuk ritual kolektif yang melibatkan masyarakat secara luas. Hajat seseorang tidak dipandang sebagai urusan pribadi semata, melainkan sebagai bagian dari tanggung jawab dan doa bersama.

Lebih dari sekadar ritual, tradisi ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat Muslim Songkhla mempertahankan identitas keagamaan mereka di tengah realitas sebagai kelompok minoritas. Meski ada perbedaan pandangan di kalangan umat Islam dunia tentang praktik tabarrukan, masyarakat setempat meyakini bahwa shalat hajat berjamaah yang diniatkan dengan ikhlas sepenuhnya sah sebagai wujud penghambaan kepada Allah. Dari sinilah saya melihat harmoni yang indah antara agama dan tradisi, yang berjalan berdampingan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Bagi saya pribadi, mengikuti tradisi tabarrukan dengan shalat hajat adalah pengalaman yang tak ternilai. Dari doa untuk pembangunan sekolah hingga doa kesembuhan seorang warga, saya menyaksikan bagaimana ibadah dapat menyatukan hati, menguatkan solidaritas, dan meneguhkan jati diri umat. Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bahwa Islam bukan hanya hadir dalam teks dan teori, tetapi benar-benar hidup dalam kebersamaan, doa, dan tradisi yang dijalani dengan penuh makna.
Angga Pratama
Peserta KKN Internasional di Rungrote Wittaya School, Songkhla, Thailand Mahasiswa Semester VI Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin IAIM Lumajang

